Tanggal 9 dan 10 Muharram.
Al-Husain binAli as adalah cucu nabi Muhammad s.a.w dan kakek dari para sunan di Indonesia, dan kemungkinan juga di negara lain-nya.
(perlu diperhatikan disini, bukan hanya karena keturunan-nya yg dijadikan patokan, akan tetapi perilaku dan sikapnya)
Berikut kilasan artikel tradisi di Indonesia di tgl 9 dan 10 Muharram:
Di Jawa misalnya, kita mengenal jenis penganan bernama Bubur Suro. Di Aceh ada Kanji atau Bubur Asyura. Di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatra Barat, ada upacara Hoyak Tabuik (Tabut) atau dikenal juga dengan upacara Hoyak Husain. Bahkan masyarakat Jawa dan juga masyarakat lainnya menyebut bulan Muharram dengan sebutan bulan Suro.

Sisihkan sedikit waktu untuk mempelajari kehidupan Imam Husein dan perjuangan beliau ini. Waktu yang berjalan detik demi detik di Karbala, semuanya memberikan pesan dan petunjuk. Tiap wajah di Karbala mengekspresikan suatu pesan. Di Karbala, manusia terbagi dua kelompok dan masing-masing memainkan perannya. Yang satu memerankan kebaikan dan keindahan, sedangkan yang lain memerankan kejahatan dan keburukan. Masing-masing telah memainkan peran mereka dengan sangat sempurna. Tragedi Karbala adalah cermin bagi semua manusia. Setiap orang dapat menyaksikan gambaran dirinya di Karbala.
Pemisahan antara hak dan batil, antara iman dan kufur, antara keindahan dan keburukan, terulang kembali di Karbala dengan bentuknya yang paling gamblang dan spektakuler. Inilah di antara tujuan besar yang hendak dicapai dengan pengorbanan cucu-cucu Rasul SAWW dan sejumlah pengikut setia mereka. Imam Husein menyaksikan bahwa ajaran suci Islam berada dalam ancaman kehancuran oleh ulah para pemegang kekuasaan duniawi yang serakah. Segala usaha telah dilakukan tetapi tidak membuahkan hasil. Di satu sisi, beliau menyaksikan kezaliman para penguasa yang semakin merajalela. Sementara dari sisi lain umat Islam semakin tenggelam dalam tidur lelap yang melenakan.
Untuk itu mari kita mempelajari sejarah peristiwa Karbala ini dengan sebaik-baiknya:
Bubur Suro di Jawa atau Kanji Asyura di Aceh yang dibuat dalam dua warna, merah dan putih, mempunyai makna darah dan kesucian. Merah melambangkan darah Imam Husain dan keluarganya yang tumpah di Karbala. Merah juga melambangkan keberanian pasukan Karbala melawan penguasa zalim.
Sementara putih melambangkan kesucian diri dan perjuangan Imam Husain melawan kezaliman. Biasanya Bubur Suro atau Kanji Asyura ini diberikan kepada sanak keluarga, kerabat, fakir miskin, terutama anak-anak, atau bahkan dibawa ke masjid dan balai desa untuk disantap bersama sebagai lambang kasih sayang kepada keluarga Imam Husain yang menderita karena ditinggal pengayom-pengayom mereka.
Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak tabut hingga kini dilaksanakan masyarakat. Padang Pariaman di Sumatra Barat dan masyarakat Bengkulu. Upacara mengarak tabut atau keranda itu adalah perlambang dari keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala. Upacara tersebut dimulai dari hari pertama Muharram hingga hari kesepuluh, di berbagai negara. Ada keyakinan cukup kuat pada sebagian masyarakat Padang Pariaman dan Bengkulu bahwa jika mereka tidak melakukan ritual ini, mereka akan mendapat bencana.
Hoyak Tabuik dimulai dari tanggal 1 Muharram, yaitu dengan mengambil lumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga, sebuah tempat berukuran 3x3 meter. Daraga juga ditutup kain putih. Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain.
Pada tanggal 7 Muharram, persis di tengah hari, ada upacara mengarak panja atau imitasi potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya. Panja ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga. Pada hari kesembilan Muharram, serban atau penutup kepala wama putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak ke jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam.
Pada tanggal 10 Muharram, ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari, Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak: Hoyak Tabuik dan Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan kata-kata seperti, ya Ali dan ya Husain.
Pasca kekuasaan Raffles, yang berkuasa di Indonesia adalah penjajah Belanda. Dicapailah kesepakatan antara pemerintah Inggris dan Belanda, yang salah satunya keharusan tentara Inggris angkat kaki dari Bengkulu. Saat itu, Sipahi diberi kebebasan untuk memilih jalan sendiri-sendiri. Sebagian di antara mereka terdampar ke Pariaman. Hal ini bisa dimaklumi, karena pada waktu itu pesisir barat Sumatera merupakan jalur pelayaran-perniagaan yang menggiurkan dan ramai dikunjungi para pedagang, dalam maupun luar negeri.
Yang pasti, berabad-abad lamanya, kaum muslimin Indonesia mempraktekkan tradisi membuat penganan dan mengarak tabut tersebut, tanpa menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah bentuk lain dari peringatan Asyura, tragedi paling dahsyat dalam sejarah manusia, yaitu tragedi Karbala.
0 komentar:
Posting Komentar